Sumpah Kerajaan Aceh
Raja boleh berganti dan kabinetnya boleh dirombak, tapi keteguhan sikap Kerjaan Aceh terhadap Belanda tidak pernah berubah. Aceh benar-benar seperti karang yang kekar dihantam gelombang. Hempasannya boleh saja membasahi, tapi ombak itu akan pecah menjadi buih dan terseret kembali ke tempatnya, tanpa mampu mengoyahkan kekokohan karang.
Begitulah Aceh yang dulu bersikap damai dalam diplomasinya dengan Belanda, kini Belanda datang sebagai gelombang yang ingin menghempas
dan membuat Aceh basah kuyup dengan hempasannya. Tapi bagi Aceh yang sudah kepalang basah mengambil sikap penolakan terhadap Belanda, akan menghadapinya dengan jantan. Gelombang tak akan mampu menakutkan orang yang sudah basah kuyup.
Gelombang itu adalah Belanda yang akan siap-siap masuk ke Aceh dengan angkatan perangnya. Namun sebelum serangan itu dilakukan Belanda beberapa kali menggertak Aceh dengan surat-surat ancamannya. Surat yang kemudian dijawab dengan santun namun tegas oleh Sulthan Aceh, Alaiddin Mahmud Syah. Cucuku Keumalahayati, kamu boleh cek surat-surat itu mungkin di arsip lama surat menyurat Gubernemen Hindia Belanda, itu mungkin tersimpan di Leiden atau bisa jadi di pusat dokumen nasional Belanda.
Pada 1 April 1873, ribuan rakyat Aceh sudah mengasah pedang dan rencong, mereka berjaga-jaga di sepanjang pantai mulai dari Ulee Lheue sampai Kuala Tari. Sementara di kejauhan di tengah Selat Malaka, beberapa kapal berbendera Belanda melepaskan jangkar. Namun mereka tak berani merapat ke daratan. Hanya setengah lusin pria berseragam militer yang turun ke darat dengan sebuah sekoci dayung. Mereka membawa bendera putih, dan terus mendayung hingga sekocinya mencium pasir di Pante Ceureumen.
Sekelompok pemuda Aceh dengan bertelanjang dada dan hanya menggenakan celana panjang hitam yang berbalut kain selutut, menghampirinya. Mereka tampak sangar dengan pedang dan siwah di tangan. Mereka menangkap sekoci dan penumpangnya itu. Mendapat perlakukan seperti itu, si Belanda hanya angkat tangan sambil mengangkat tinggi-tinggi bendera putih seukuran kain sarung. Seorang lagi memperlihatkan selembar kertas tebal dan kasar bergulung.
Melihat gelagat seperti itu, seorang pemuda keluar dari bawah rimbun pohon cemara dan menghampiri mereka.
“Mereka mau berdamai, tanya sama si Belanda itu apa maksudnya?” kata pemuda itu.
Belum sempat ditanya, si Belanda menyerahkan kertas berbalut yang dibawanya. Ia hanya berkata singkat.
‘Sulthaan..sulthaann,..sulthaann,” katanya dengan logat sengaunya.
Para pemuda itu pun mengerti bahwa itu surat untuk Sulthan Aceh. Keenam Belanda itu dibawa berteduh di bawah pohon kelapa dan cemara. Mereka diawasi dengan senjata terhunus oleh pemuda-pemuda Aceh di pantai itu. Seorang pria lebih tua kemudian mengambil surat itu. Ia bergegas menunggangi kuda, membelah semak dan jalan setapak. Dua pria lainnya yang juga menunggang kuda mengikutinya dari belakang.
Penduduk sepanjang kampung pantai itu memperhatikan laju kuda yang tak biasa itu. Kalau pun ada patroli tentara kerajaan derap kuda tak sekencang itu. Pasti ada yang tidak beres. Penduduk sepanjang panta mulai cemas, apa lagi setelah desas-desus kedatangan Belanda jadi pembicaraan sejak sepekan sebelumnya. Melihat tingkah para pemuda yang siap-siap dengan pedang terhunus menuju pinggiran pantai, warga sudah mahfum, bahwa petaka itu sudah datang, dan perang akan berkecamuk.
Ketiga kuda itu terus melaju kencang, derap kakinya meninggalkan debu yang berterbangan di jalan masuk ke pusat kerajaan. Sampai di gerbang istana Darud Donya mereka memarkirkan kudanya dan dengan langkah cepat masuk ke alun-alun kerajaan. Surat itu diserahkan kepada seorang perempuan bertubuh tegap. Ia Laksamana dari divisi keumala cahaya yang bertugas sebagai komandan pasukan perempuan penjaga istana.
Ketiga pemuda dari pantai itu istirahat di balai-balai di bawah pohon rindang di perkarangan istana sambil menikmati suguhan air kelapa dan buah-buah segar dari pengawal istana. Mereka benar-benar kelelahan, butir-butir peluh mengalir di dahinya. Sementara belasan perempuan pengawal istana hilir mudik di sudut-sudut taman, mereka nampak banyak diam dan berada di ring pertama istana, sementara pria-pria terlatih berbadan kekar ada di ring kedua di alun-alun istana terus sampai ring tiga di gerbang. Begitulah seterusnya pengamanan berlapis dilakukan untuk menghadapi ancaman terburuk dari kedatangan Belanda.
Sementara di dalam istana, Sultan Alaiddin Mahmud Syah sedang memimpin rapat bersama para wazirnya (menteri). Melihat kedatangan laksamana divisi keumala cahaya itu, ia menghentikan sejenak rapatnya. Setelah membungkuk memberi salam dan hormat, laksamana itu menyerahkan surat yang dibawa dari pantai setelah oleh tiga pria berkuda kepada Sultan.
Sulthan Alaiddin Mahmud Syah menggangam erat-erat surat ujung surat itu dan membacanya dalam hati. Ia kemudian meremasnya. Para wazir penasaran dengan sikap Sulthan, mereka bertanya-tanya apa gerangan yang terjadi.
“Holanda kembali mengancam kita,” katanya singkat. Orang Aceh menyebut Belanda dengan sebutan Holanda.
Sulthan bangun dan berdiri di hadapan para wazirnya itu.
“Mereka terlalu congkak, sebelum Holanda itu sampai ke pesisir, siapkan penyambutan dengan meriam dan kelewang. Biar mereka tahu bahwa kita tidak sama dengan Jawa yang bisa dipermainkannya. Atas nama Allah dan nabi-Nya kita akan hadapi Holanda itu.” tegas Sultan.
Sulthan Alaiddin Mahmud Syah benar-benar marah dengan surat ancaman Belanda itu, tapi seorang wazir yang bijaksana kemudian meminta Sulthan agar menjawab surat itu dengan santun. Sulthan menerima saran wazirnya itu. Ia pun meminta Wazir Rama Setia selaku Sekretaris Kerajaan untuk menulis konsep surat balasan kepada Belanda. Setelah beberapa kali perbaikan naskah, Sulthan menyetujui dan menerakan cap stempel kerajaan di surat itu atas namanya.
Di bagian akhir surat balasan itu Sulthan Alaiddin Mahmud Syah menulis.
“…kita hanya seorang miskin dan muda, dan kita sebagai juga Gubernemen Hindia Belanda berada di bawah perlindungan Tuhan yang maha kuasa. (Sulthan Alaiddin Mahmud Syah—1 Safar 1290 Hijriah / 1 April 1873 Masehi)
Surat itu diserahkan kembali kepada laksamana selaku kepala divisi keumala cahaya, yang kemudian diteruskan kepada tiga pemuda berkuda untuk membawanya ke pantai sebagai balasan kepada Belanda. Tiga pemuda itu terus memacu kudanya menuju pantai. Sepanjang jalan terdengar terikan “Allahu Akbar..” dari para penduduk yang dilewatinya.
Surat itu kemudian diberikan kepada seorang panglima yang memimpin ratusan pemuda di pantai itu. Ia membawanya kepada setengah lusin Belanda yang ketakutan di bawah pohon cemara. Setelah diberikan surat itu, kawanan Belanda itu berlayar kembali dengan sekoci dayungnya kembali ke kapal yang berlabuh jauh di lepas pantai.
Surat menyurat antara Belanda dan Sultah Aceh itu sudah berulang kali terjadi. Pihak Aceh tetap menolak untuk tunduk pada kekuasaan Belanda dengan segala risikonya. Bahkan dalam surat jawabannya, Sulthan Alaiddin Mahmud Syah menegaskan bahwa Aceh statusnya sebagai kerajaan berdaulat sama juga dengan Gubernemen Hindia Belanda, yang sama-sama berada di bawah perlindungan tuhan.
Penolakan halus Sulthan Aceh itu membuat Belanda berang dan berencana untuk melancarkan serangannya ke Aceh. Menyadari bahaya semakin dekat, Sultan Alaiddin Mahmud Syah menggelar musyawarah kerajaan pada 10 Zulkaidah 1288 Hijriah (1872 Masehi) di dalam Mesjid Baiturrahim Darud Dunia. Dalam musyawarah itu hadir para ulama besar, menteri dan uleebalang seluruh Aceh.
Kepada para wazir, ulama dan uleebalang, Sulthan Alauddin Mahmud Syah menjelaskan tentang bahaya yang sedang mengancam Aceh, yakni armada militer Belanda yang sudah berada di Selat Malaka.
“Holanda, imperialis itu akan datang menyerang kita, maka ini hari saya permaklumkan rapat kerajaan membahas sikap penentangan kita dan mengatur siasat untuk menghadapinya,” kata Sulthan.
Rapat itu berjalan alot, para ulama dengan tegas mendukung sikap sulthan yang akan melawan Belanda, sikap yang sama juga ditunjukkan pada wazir selaku menteri kerajaan. Hanya kelompok uleebalang yang agak ragu, namun karena ulama bersama wazir sudah sependapatan, mereka akhirnya juga menyetujui untuk berperang melawan Belanda. Namun, kelak para uleebalang itu ada yang ingkar dengan membuka pintu dialog dengan Belanda, tentang itu cucuku Keumalahayati, akan kuceritakan nanti ketika sampai pada kisah pengkhianatan yang sampai sekarang belum mau diungkapkan oleh sejarawan manapun. Hasymi mengaku tahu tentang itu, tapi ia juga tak berani mengungkapkan pengkhianatan tersebut.
Cucuku, rapat kerajaan yang dipimpin Sulthan Alaiddin Mahmud Syah itu melahirkan keputusan akan melakukan perang total kalau Belanda menyerang Aceh. Sebagai tanda kesepakatan tekat tersebut, mereka yang mengikuti rapat kerajaan itu mengucapkan sumpah. Sumpah itu dipimpin oleh seorang ulama besar, Kadli Mu’adhham Mufti Besar Kerajaan Aceh, Syekh Marhabab bin Haji Muhammad Saleh Lambhuk dan disaksikan oleh para alim ulama.
Para wazir kerajaan bersama uleebalang dan petinggi kerajaan berbaris dalam aula kerjaan, mereka berdiri sejajar dalam beberapa barisan. Syeh Marhaban berdiri agak ke depan di ujung kanan menghadap mereka sambil mengangkat kitab suci Al Quran dengan kedua tangannya melewati kepala. Sumpah kerjaaan Aceh pun diucapkannya dan diikuti dengan suara gemuruh oleh para wazir dan uleebalang. Sumpah itu berbunyi:
“Demi Allah, kami sekalian hulubalang khadam Negeri Aceh, dan sekalian kami yang ada jabatan masing-masing kadar mertabat, besar kecil, timur barat, tunong baroh, sekalian kami ini semuanya, kami thaat setia kepada Allah dan Rasul, dan kami semua ini thaat setia kepada Agama Islam, mengikuti Syariat Nabi Muhammad Saw, dan kami semua ini thaat setia kepada raja kami dengan mengikuti perintahnya atas yang hak, dan kami semuanya cinta pada Negeri Aceh, mempertahankan dari pada serangan musuh, kecuali ada masyakkah, dan kami semua ini cinta kasih pada sekalian rakyat dengan memegang amanah harta orang yang telah dipercayakan oleh empunya milik. Maka jika semua kami yang telah bersumpah ini berkhianat dengan mengubah janji seperti yang telah kami ikral dalam sumpah kami semua ini, demi Allah kami semua dapat kutuk Allah dan Rasul, mulai dari kami semua sampai pada anak cucu kami dan cicit kami turun temurun, dapat cerai berai berkelahi, bantah dakwa-dakwi dan dicari oleh senjata mana-mana berupa apa-apa sekalipun. Wassalam.”
Cucuku, isi sumpah ini kemudian dicatat dan dimasukkan dalam sarakata Baiat Kerajaan, bertulis tangan dengan huruf Arab. Dokumen sumpah itu kemudian disimpan oleh Wazir Rama Setia selaku Sekretaris Kerajaan Aceh, Said Abdullah Di Meuleuk, yang kemudian disimpan secara turun temurun oleh keturunannya. Cucuku, kalau kamu ingin melihat foto kopi naskah sumpah kerajaan Aceh itu, pulanglah kamu ke Aceh sayang, kakek akan membawamu ke Pustaka Hasjmy, karena di sana ada foto kopinya. Tapi sebelumnya, kusarankan padamu untuk belajar bahasa Arab, karena naskahnya ditulis dengan aksara Arab.
Cucuku, Keumalahayati, begitu tegasnya sumpah kerajaan Aceh itu. Dari isi sumpah itu, kakek bisa melihat bahwa benih-benih pengkhianatan terhadap Kerajaan Aceh dari pihak dalam sudah tumbuh. Coba kamu baca kembali penegasan dari sumpah itu. Sulthan Aceh menyadari akan adanya pembelot di jajarannya, maka ia mengikat sumpah itu, jika ada yang berkhianat terhadap sumpah tersebut, mereka akan dikutuk oleh Allah dan Rasul sampai kepada cucunya turun temurun. Dan itulah yang kemudian terjadi sampai hari ini di Aceh. Karena segolongan orang mengkhianati sumpah itu, generasi mereka di Aceh tercerai berai.
Cucuku Keumalahayati, setelah rapat kerajaan dan pengambilan sumpah dilakukan, seorang pria berbadan tegap dan kulit agak hitam, masuk ke aula pertemuan. Tak ramai yang mengenalnya, karena ia orang yang bekerja di dinas rahasia. Lelaki yang tampak klimis itu penampilannya agak berbeda dengan para pejabat kerajaan. Awalnya ia dikira salah seorang uleebalang dari satu wilayah di Aceh.
Ia masuk memberi salam kemudian membisikkan sesuatu ke telinga Sulthan. Keduanya kemudian menuju ruang kerja Sulthan, sementara para wazir dan uleebalang dipersilahkan ke ruang penjamuan. Para wazir dan uleebalang penasaran dengan tingkah pria misterius itu. Sambil menikmati makan siang, mereka membicarakan tentang lelaki tersebut.
Tak lama kemudian Sulthan Alaiddin Mahmud Syah keluar dari ruang kerjanya bergabung kembali dengan para wazir dan uleebalang di ruang jamuan. Usai shalat dhuhur berjamaah di mesjid Baiturrahim dalam komplek istana, Sulthan Alaiddin Mahmud Syah kembali melanjutkan pertemuan. Para wazir dan uleebalang merasa ada yang tidak beres, karena sebelumnya rapat kerajaan direncakanan hanya pagi saja, dan dianggap telah selesai setelah sumpah kerajaan diucapkan. Mereka pun kembali bertanya-tanya, tentang kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan dihadapi. Kehadiran lelaki misterius di ruang kerja Sulthan tadi mereka kait-kaitkan dengan rapat susulan tersebut.
Di hadapan para wazir dan uleebalang, Sulthan Alaiddin Mahmud Syah berujar.
“Saya sudah dapat laporan dari Peutua Balei Sisasah Keurajeun bahwa Holanda sudah dapat dipastikan menyerang kerajaan kita ini,” katanya dengan suara nyaring dan tegas. Ternyata pria misterius yang masuk ke ruang kerja sulthan tadi adalah Peutua Balei Sisasah Keurajeun yakni kepala intelijen kerajaan.
Rapat susulan itu jadi riuh, ada yang cemas ada pula yang terlihat santai, namun kebanyakan terlihat tegang.
“Untuk menghadapi Holanda itu, maka hari ini dalam rapat ini saya akan membentuk kabinet perang,” lanjut Sulthan.
Sulthan benar-benar mempersiapkan peperangan besar untuk menghadapi Belanda. Ia meminta kepada para menterinya (wazir) untuk menyusun kabinet perang yang efektif dan efisien tanpa banyak birokrasi. Alasannya, urusan perang harus disegerakan, tidak boleh berbelit-belit dengan birokrasi pemerintahan. Atas dasar itu pula, para birokrat kerjaan harus terlibat dalam kabinet tersebut agar lebih mudah menjalankan roda pemerintahan dan peperagangan sekaligus dalam suasana genting.
Setelah menerima berbagai masukan dalam rapat itu, Sulthan Alaiddin Mahmud Syah menunjuk tiga wazir (menteri) untuk memimpin kabinet perang. Sulthan tetap bertindak sebagai kepala pemerintahan. Sementara untuk kabinet perang Sulthan menunjuk Tuanku Hasyim Banta Muda Kadir Syah sebagai Wazirul Harb (Menteri Peperangan) merangkap sebagai panglima besar angkatan perang dengan pangkat Jenderal Tentara Aceh. Kemudian Tuanku Mahmud Banta Kecil Kadir Syah diangkat sebagai Wazirul Mizan Wazirul Dakhiliyah-Wazirul Kharijiah (Menteri Kehakiman merangkap Menteri dalam dan luar negeri) merangkap Wakil Kepala Pemerintahan. Sementara satu lagi Said Abdullah Teungku Di Meulek diangkat sebagai Wazir Rama Setia (Sekretaris Negara) merangkap Wakil Panglima Besar Angkatan Perang dengan pangkat Letnan Jenderal Tentara Aceh.
Kabinet perang ini dilantik oleh sulthan pada Minggu 1 Muharram 1290 Hijriah (1873 masehi). Mereka dilantik dan disumpahkan di dalam Mesjid Istana Baiturrahim. Upacara pengambilan sumpah dipimpin oleh Kadli Mu’adhdham Syeh Marhaban bin Haji Lambhuk. Ia berdiri menghadap ketiga pemimpin kabinet perang itu, mengangkat kitab suci Al Quran ke atas kepala mereka. Kadli Mu’adhdham Syeh Marhaban bin Haji Lambhuk kemudian membaca sumpah yang diikuti oleh ketiga pemimpin kabinet perang itu.
Isi sumpah itu.
“Kami bersumpah, bahwasanya kami tiga orang sekali-kali tidak mau tunduk di bawah kekuasaan Holanda, dengan menyerah diri takluk di bawah kekuasaan siteru. Maka barang siapa dalam tiga orang yang tersebut namanya dalam surat istimewa ini tunduk dan takluk ke bawah kekuasaan Holanda, maka ke atasnya kutuk Allah sampai pada anak cucunya masing-masing.”
Naskah sumpah itu kemudian dicatat dalam sarakata Baiat Kerajaan, bertulis tangan dengan huruf Arab dan disimpan oleh Wazir Rama Setia sebagai dokumen baiat Kerajaan Aceh.
Setelah selesai pengambilan sumpah, maka kabinet perang mengeluarkan maklumat kepada seluruh Uleebalang dan rakyat Aceh. Maklumat itu disampaikan oleh Wakil Panglima Perang Said Abdulah tanggal 1 Muharram 1290 H (1873 M). Maklumat itu berjudul “Surat Nasehat Istimewa Keputusan Kerajaan Melawan Holanda.”
Maklumat tersebut dicatat dalam sarakata nasehat kerajaan. Isinya.
“Bismillahir Rahmaanir Rahiim. Bahwa hamba memberi nasehati tuan-tuan atas nama Kerajaan Aceh beserta ahli waris kerajaan, dengan alim ulama dan rakyat Aceh khususnya, dan rakyat bawah angin umumnya.
Wahai tuan-tuan sekalian, hamba memberi perintah hari ini, bahwa sekalian tuan-tuan kita semuanya, bersiap siap dengan apa senjata saja yang ada pada kita masing-masing, karena kita semuanya akan menghadap bahaya maut yaitu dua perkara: pertama menang, kedua syahit, ketiga tidak ada sekali-kali yaitu menyerah kalah kepada Holanda.
Ingatlah tuan-tuan, di sini hamba beri pernyataan dengan sahih sah muktamad, bahwa bangsa Holanda sudah duaratus limapuluh tahun menjajah negeri bawah angin di luar kita Aceh, sejengkal tanah Aceh jangan kita beri kepada musuh kita bersama, yaitu Holanda.
Maka barang siapa yang menyerah kepada Holanda dengan sebab tidak ada masyakkah, maka Holandalah ia. Maka orang seperti itu telah menjadi musuh Allah dan musuh Rasul dan musuh negeri dan musuh kerajaan. Maka tiap-tiap musuh seperti yang hamba sebut itu walau siapa-siapa, berhak kita bunuh sidurhaka itu, jangan kita sayang pada sibangsat itu. Kalau kita sayang pada sibangsat itu, negeri kita Aceh alamat binasa, sengsara, huruhara.
Bersatulah kita semuanya, melawan Holanda bangsa barat yang hendak merebut menjajah negeri kita Aceh. Jangan tuan-tuan ngeri dan takut, kita orang Islam wajib berperang melawan musuh dengan apa senjata yang ada pada kita masing-masing.
Maka barang siapa yang tuan-tuan dan hulubalang-hulubalang memihak berdiri kepada Holanda dengan sengaja, yang tidak ada masyakkah, maka Insya Allah Ta’ala akan datang pada suatu zaman yang kebili keubilui anak cucu tuan-tuan muntah darah dan dimandikan dengan darah oleh rakyat sendiri masing-masing, walau besar walau kecil.
Ingatlah wahai sekalian tuan-tuan Hulubalang yang khadam negeri, mulai dahulu sampai sekarang hingga akan datang, bahwa tiap-tiap orang ada jabatan mengurus negeri dan mengurus rakyat, yaitu memelihara rakyat dengan menyuruh makruf dan mencegah mungkar, dan sekalian rakyat jangan tuan-tuan perbudakkan, dan sekalian rakyat bukan buat tuan-tuan hulubalang, tapi tuan-tuan yang hulubalang semuanya, timur barat tunong baroh, buat rakyat, yaitu menjaga mengurus dengan sempurna, supaya rakyat cinta kasih lahir batin pada sekalian tuan-tuan.
Wahai sekalian tuan-tuan, bahwa rakyat itu seperti air sungai yang sangat luas lagi dalam, dan pucuknya dalam rimba gunung yang bercabang-cabang. Jika satu kali turun hujan besar, semua turun air ke dalam sungai, maka jadi banjirlah mengamuk air ke mana-mana, maka binasalah sekalian tanaman, apa-apa yang ada semuanya sudah tenggelam dengan air…”
Cucuku Keumalahayati, begitu tegas dan patriotiknya isi sumpah dan maklumat itu. Kabinet perang menyerukan semangat jihat fi sabilillah untuk melawan Belanda. Pun juga cucuku, kabinet perang menegaskan kepada para uleebalang agar tetap bersama rakyat bahu membahu melawan Belanda. Bila ada uleebalang yang memihak Belanda atau membantunya masuk ke Aceh, maka uleebalang itu adalah musuh bersama, musuh rakyat Aceh, keturunannya kelak akan kacau balau dan mati bersimbah darah bila ingkar terhadap sumpah kerajaan dan mangkir dari kewajiban jihat melawan Belanda. Ini pula yang kelak terjadi cucuku, yang membuat Aceh tak pernah aman dari konflik.
Setelah maklumat kabinet perang itu disampaikan ke seluruh pelosok negeri, rakyat berduyun-duyun menuju pantai untuk menghadapi kedatangan Belanda. Para panglima perang di setiap wilayah menyiapkan kader-kadernya untuk menghadapi ancaman perang dari Belanda. Para pemuda direkrut dan dengan suka rela memperkuat barisan tentara kerajaan. Dalam tempo singkat angkatan perang Aceh bertambah banyak. Dan perang besar tak lama lagi memang akan terjadi, perang yang memberi tamparan bagi kecongkakan Belanda.
Pada pada Senin 10 Muharram 1290 Hijriah (1873 Masehi) Sultan Alaiddin Mahmud Syah kembali memimpin musyawarah penting di dalam mesjid Istana Baiturrahim. Musyawarah itu dihadiri oleh para uleebalang dan para panglima. Dalam musyawarah tersebut sultan menjelaskan bahwa keadaan Aceh sudah sangat genting, surat menyurat dengan pemerintah Hindia Belanda semakin tegang. Mungkin dalam satu dua bulan ke depan Belanda akan menyerang Aceh.
Mendapat penjelasan seperti itu, maka para uleebalang dan para panglima diminta untuk mempersiapkan pasukan di wilayah masing-masing untuk menghadapi serangan Belanda yang sewaktu-waktu bisa datang untuk memerangi Aceh. Perang yang akan digelorakan kali ini bukanlah sembarangan perang cucuku, perang kali ini adalah perang demi martabat Aceh. Ini resmi perang kerajaan yang ditandai dengan surat Sulthan Alaiddin Mahmud Syah yang berisi perintah untuk melawan Belanda.
Surat perintah itu dikeluarkan pada 1 Muharram 1290 Hijriah (1873 Masehi) setelah melantik kabinet perang yang dikepalai oleh Tuanku Hasyim Banta Muda sebagai Panglima Besar Angkatan Perang Aceh.
Sultan menyadari akan bahaya yang ditimbulkan dari ancaman perang oleh Belanda. Ia pun memberi penjelasan tentang hal itu kepada kabinet perang bentukannya. Setelah penjelasan itu diberikan, maka Wazir Rama Setia/ Wakil Panglima Besar, Letnan Jendral Said Abdullah Teungku Di Meulek membacakan surat perintah yang berisi pemberitahuan kepada uleebalang seluruh Aceh untuk menjaga pantai Aceh dari serangan Belanda, mulai dari Kuala Gigieng dan Ladong, Kampung Pande Meunasah Kandang, Kuta Reuntang, Kuta Aceh, Pante Pirak, Babah Krueng dari Beurawe dan Gunung Kesumba.
“Tiap tempat tersebut jangan tuan-tuan tinggalkan. Kalau tuan tinggalkan tempat tersebut, salah satu tempat itu, maka musuh Holanda senang saja menyerang kita Aceh,” Perintah Sultan Alaiddin Mahmud Syah.
Dalam surat itu Sultan juga meminta kepada rakyat Aceh untuk saling bantu membantu dalam usaha melawan Belanda yang akan menyerang Aceh.
“Jangan tuan-tuan berkhianat kepada Agama Islam, durhaka kepada Allah dan Rasul, durhaka kepada kerajaan dan tidak setia kepada neger dan bangsa,” lanjut Sultan dalam suratnya. Sultan juga memerintahkan untuk menghukum mati siapa saja yang memihak atau membantu Belanda (Holanda) dalam usahanya untuk menaklukkan Aceh.
Kemudian cucuku, setelah memastikan bahwa Belanda akan benar-benar menyerang Aceh, maka Sulthan kembali mengadakan musyawarah besar di Mesjid Baiturrahman yang terletak di tengah-tengah ibu kota kerajaan Aceh. Hadir dalam musyawarah itu para ulama besar seluruh Aceh, para uleebalang, para panglima, para imam, para imum mukim, keujruen dan pembesar kerajaan lainnya.
Setelah Sulthan mejelaskan bahwa kerajaan telah bertekat bulat tidak akan tunduk pada Belanda, maka Wazir Rama Setia yang merangkap Wakil Panglima Besar Angkatan Perang Aceh, Letnan Jendral Said Abdullah Teungku Di Meulek membacakan sarakata pernyataan perang. Sarakata tersebut bertanggal Kamis 20 Muharram 1290 Hijriah (1873 Masehi).
Salah satu bagian isi sara kata tersebut adalah:
“…Dan sampaikan amanah hamba kepada seluruh rakyat Aceh, timu barat, tunong baroh, tuha muda, kaya dan miskin hendaklah melawan Holanda, jangan berhenti-henti dengan apa saja, yaitu perkataan, perbuatan, senjata, khusus rakyat Aceh dan umumnya rakyat bawah angin, jangan takut, jangan ngeri. Kita berperang dua menghadap maut, yaitu syahid, kedua menang, ketiga tidak ada sekali-kali yaitu kalah dengan menyerah diri kepada Holanda…”
Pada bagian surat lainnya Sultan Aceh kembali meminta dengan tegas agar terus melawan Belanda dan tidak pernah tunduk apalagi menyerah kepada Belanda.
“…Maka itulah wahai sekalian hulubalang Pidie semuanya, dan sekalian hulubalang Pase semuanya, Aceh Timu semuanya dan sekalian hulubalang Aceh Tengah semuanya dan sekalian hulubalang Aceh Barat semuanya, dan sekalian hulubalang Aceh Selatan semuanya, datok dan keujruen dan sekalian rakyat pada masing-masing tempat daerah tersebut, hendaklah pada sekalian tuan-tuan mengikuti menurut melawan Holanda berganti-ganti sehingga berhenti Holanda musuh kita, tidak lagi duduk di atas bumi negeri Aceh khususnya dan bumi bawah angin umumnya…”
Cucuku Keumalahayati, dari surat-surat yang dikelurakan oleh Sultan Alaiddin Mahmud Syah itu jelas bahwa kerajaan Aceh telah mengadakan persiapan yang matang untuk menghadapi Belanda. Rakyat Aceh diajak untuk menyumbangkan harta benda, tenaga dan nyawa untuk menghalau Belanda masuk ke Aceh. Untuk memberikan contoh pada rakyat, maka para petinggi Kerajaan Aceh terlebih dahulu menyumbangkan hartanya untuk digunakan dalam perang melawan Belanda.
Saat itu, Wazir Rama Setia/Wakil Panglima Besar Angkatan Perang Aceh, Letnan Jendral Said Abdullah Teungku Di Meulek menyumbang 16 kilogram emas dan 4.700 riyal untuk biaya perang. Sumbangan itu diberikan pada bulan Rabiul Awal 1290 Hijriah (1873 Masehi) dan dicatat dalam sarakata risalah sedekah bertulis tangan huruf Arab, yang kemudian menjadi dokumen kerajaan peninggalan Wazir Rama Setia Kerajaan Aceh.
Cucuku Keumalahayati, Untuk menghadapi ancaman Belanda yang kian nyata menyerang kedaulatan Aceh, Sulthan Alaiddin Mahmud Syah bersama kabinet perangnya terus mengadakan berbagai persiapan untuk menghadapi kemungkinan penyerangan Belanda tersebut.
Sultan mengemukakan ancaman Belanda tersebut kepada Majelis Mahkamah Rakyat yang beranggotakan 73 orang wakil rakyat. Hal ini sebagaimana tersirat dalam Kanun Meukuta Alam halaman 90-91, naskah lama bertulis tangan dengan huruf Arab.
Dalam dokumen lama kerajaan Aceh disebutkan, ketika pada masa-masa tegang menghadapi ancaman Belanda, Pada Jumat 30 Zulhijjah 1289 Hijriah (1872 Masehi) Kerajaan Aceh kembali menggelar sidang istimewa di dalam Mesjid Baiturrahman Bandar Aceh Darussalam. Sidang istimewa itu disebut sebagai sidang istimewa Balai Majelis Mahkamah Rakyat.
Dalam sidang itu disampaikan khutbah kerajaan yang dibacakan oleh Said Abdullah Teungku Di Meulek dalam kedudukannya sebagai Wazir Rama Setia (Sekretaris Kerajaan) dan sebagai Wakil Panglima Besar Angkatan Perang Aceh dengan pangkat Letnan Jendral.
Sidang istimewa itu selain dihadiri oleh 73 orang anggota Balai majelis Mahkamah Rakyat juga diundang para uleebalang, para ulama, pimpinan rakyat dan para perwira angkatan perang.
Khutbah kerajaan yang dibacakan Said Abdullah Teungku Di Meulek dalam sidang istimewa itu diantaranya berisi perintah dari keputusan mufakat kerajaan untuk menghadapi Belanda. Salah satu bagian isi khutbah itu berbunyi:
“…dengan keputusan sabda mufakat Kerjaaan Aceh Bandar Darussalam beserta ijma mufakat alim ulama yang guru-guru hamba dan payung hamba, maka di sini sekarang ini hingga akan datang turun menurun salin-malin masing-masing terus menerus, hamba amanahkan dan hamba wasiatkan, bahwa kita semua akan menghadapi maut, yang hendak menyerang negeri kita ini oleh Holanda dan beserta kaum kerabat ahli warisnya Holanda yang tidak jauh dengan kita yaitu sahabat karib Holanda, yaitu yang khianat pada agama Islam, dan khianat pada negeri, dan khianat pada bangsa, dan khianat pada kerajaan Aceh…”
Pada bagian lainnya surat itu Sulthan Alaiddin Mahmud Syah menekankan kewajiban bagi rakyat Aceh untuk berperang melawan Belanda sebagai perang fi sabilillah, serta jangan pernah menyerah kepada jajahan negeri tersebut. Dalam khutbah itu ia kembali menegaskan:
“…Wahai sekalian tuan-tuan yang hamba Allah semua! Bahwa kita semua akan menghadapi maut fi sabilillah yaitu dua perkara: pertama menang perang, kedua syahid, ketiga tak ada sekali-kali yaitu menyerah kepada Holanda…”
Sulthan Alaiddin Mahmud Syah di bagian tengah khutbah kerjaan yang dibacakan Said Abdullah Teungku Di Meulek itu juga menegaskan tentang pentingnya persatuan dan kesatuan rakyat dalam menghadapi ancaman agresi militer Belanda yang saat itu semakin nyata saja akan menyerang kedaulatan Kerajaan Aceh. Ia juga meminta untuk tidak mengampuni para pengkhianat yang membantu Belanda masuk ke Aceh.
“…Holanda itu musuh kita dan musuh anak cucu kita. Tuan-tuan jangan takut, jangan ngeri tuan-tuan menghantam Holanda dan sekalian kaum sahabat karib Holanda, bunuhlah pengkhianat negeri walau siapa sekalipun. Ingat yang musuh tetap musuh…”
Dalam khutbah itu Sulthan Alaiddin Mahmud Syah juga menyinggung tentang nasib masyarakat Jawa yang saat itu sudah 250 tahun di jajah oleh Belanda. Ia menyebutnya sebagai negeri di bawah angin yang berpusat di Jawakarta.
Sultan menjelaskan tentang penderitaan rakyat Jawa yang sudah dua setengah abad dikuasai Belanda waktu itu. Ia tidak ingin rakyat Aceh mengalami nasib yang sama seperti Jawa yang telah dikuasai Belanda dan diperas hasil buminya. Ia mengambarkan jajahan Belanda terhadap Jawa itu sebagai tragedi penghisab darah.
“…Ingat tuan-tuan, bahwa Holanda berkulit delima putih sudah dua ratus lima puluh tahun menjajah Negeri Bawah Angin yang berpusat di Jawakarta, menganiaya rakyat bawah angin dengan merampas harta rakyat bawah angin, mengazab dan menghisap darah rakyat bawah angin. Turun temurun rakyat bawah angin dalam azab sengsara yang diperbuat oleh Holanda atas rakyat bawah angin…”
Sulthan juga menyinggung tentang akan munculnya golongan dan orang-orang yang akan membantu Belanda di Aceh. Mereka merupakan para pengkhianat yang akan membantu Belanda masuk Aceh. Mereka yang menjadi duri dalam daging yang menggunting dalam lipatan itu oleh Sulthan Alaiddin Mahmud Syah disebut sebagai Belanda kulit hitam.
Mereka inilah yang digolongkan dalam musuh besar agama dan musuh kerajaan Aceh. Analisa Sulthan Alaiddin Mahmud Syah terhadap kemungkinan munculnya golongan ini sangat jelas dalam khutbahnya itu. Sebelum Belanda benar-benar masuk dan menyerang Aceh, ia yakin akan muncul golongan pengkhianat yang kemudian dikenal sebagai cuak, golongan yang selalu muncul dalam sejarah perang Aceh. Analisa ini disampaikannya berdasarkan laporan dari Peutua Balei Sisasah Keurajeun yakni kepala intelijen kerajaan.
Badan intelijen kerajaan menangkap adanya orang-orang dari Jawa yang menjadi kaki tangan Belanda, mulai masuk ke Aceh untuk mempengaruhi para uleebalang agar menerima kedatangan Belanda. Karena itu Sulthan Alaiddin Mahmud Syah menyerukan kepada rakyat untuk tidak terpengaruh dan tetap bahu membahu melawan Belanda.
Kepada rakyat Aceh ia sampaikan seruannya.
“…hendaklah kita bersatu, bahu membahu berpegang alat senjata apa saja yang ada, kita lawan, kita hantam, kita hancurkan musuh kita, yaitu Holanda kulit delima putih dan Holanda hitam warna kulit, yang dekat dengan kita. Maka hendaklah tuan-tuan sapu bersih dua macam Holanda, yaitu satu Holanda luar negeri dan satu lagi Holanda dalam negeri Aceh sendiri..”
Isi khutbah kerajaan Aceh dari Sulthan Alaiddin Mahmud Syah itu dicatat dalam sara kata kerajaan, naskahnya bertulis tangan dengan mengunakan huruf Arab. Naskah-naskah tersebut disimpan oleh selaku Wazir Rama Setia Kerajaan Aceh.
Cucuku, kalau kamu ingin melihat dokumen itu ada pada ketrurunan Said Abdullah Teungu Di Meulek yang menyimpannya secara turun temurun sebagai dokumen penting kerajaan Aceh.